Eksklusivitas Muhammadiyah dalam Budaya Jawa

Identitas Buku

Pengarang: 
Penerbit: 
Tahun Terbit: 
2016
Jumlah Halaman: 
186
Muhammadiyah dalam sejarah pendiriannya merupakan sebuah organisasi keagamaan yang fokus pada gerakan purifikasi. Gerakan purifikasi atau pemurnian ini adalah mengembalikan pemahaman agama kepada al qur’an dan as sunnah tanpa sedikitpun tercampur oleh ritual-ritual atau kebiasaan yang tidak ada tuntunannya dalam kedua kitab tersebut. Pendiri Muhammadiyah, Kh. Ahmad Dahlan mengajak seluruh pengikutnya untuk memberantas penyakit TBC (thahayul, bid’ah, dan churafat). Fokus gerakan Kh. Ahmad Dahlan tersebut merupakan representatif sang pendiri dalam melihat realitas masyarakat yang semakin jauh dari sumber ajaran umat islam yang fundamental.
Berangkat dari gagasan tersebut Muhammadiyah dikalangan masyarakat awam atau belum mengerti tentang Muhamamdiyah, seolah menjustifikasi Kh Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah sebagai gerakan Wahabi yang berkembang di Timur Tengah. Sehingga klaim di masyarakat seolah Muhammadiyah menolak habis segala bentuk praktek-praktek di masyarakat khusunya masyarakt Jawa yang banyak mengandung unsur sinkretisme.
Maka menarik salah satu karya dari Mas Ahmad Najib Burhani tentang Muhamamdiyah Jawa. Buku ini seolah merupakan jawaban atas persoalan yang selama ini menghinggapi organisasi kegamaan tertua di Indonesia. Demikian salah satu pengantar dalam Buku Muhammadiyah Jawa Belakang ini terjadi satu pergeseran pandangan di masyarakat. Seolah-olah NU dipandang lebih pas sebagai representasi Islam-jawa dari pada Muhammadiyah. Fenomenologi ini yang sering saya lihat di kalangan kader-kader baik NU yang diwakili anak muda maupun golongan tua yang sering dekat dengan para Kyainya. Kalau kita melihat dalam film Sang Pencerah kita bisa melihat bagaimana di awal Kh Ahmad Dahlan sangat kental dengan unsur kejawan. Salah satunya adalah pakaian yang dikenakan oleh Ahmad Dahlan, diselimuti oleh lurik dan kain batik. Berbeda dari pendiri NU yaitu Hasyim Asyari yang banyak ditemui dengan dandanan Kyai khas Arab dengan sorban dan jubah khas yang nampak dari sosok pendiri Nahdatul Ulama ini. Tetapi itu hanya merupakan salah satu bukti bahwa Muhammadiyah awal kental dalam tradisi jawanya.
Tetapi dalam salah satu bagian akhir dalam bab ini, beberapa faktor yang menyebabkan Muhamamdiyah dan para aggotanya memiliki sikap yang berbeda tentang pandangan budaya Jawa. Banyak anggapan bahwa Muhammadiyah tidak bermahzab. Pengaruh beberapa anggota dari Sumatra dan Kemenangan Wahabi menaklukkan Makkah dan Madinah dalam kisah di buku ini lebih ditujukan pada perhatian gerakan ini semakin yakin dan serius dalam berperilaku beragama dari periode sebelumna. Walaupun pada perkembangannya Muhammadiyah lebih memposisikan sebagai gerakan yang membela wong cilik. Diawal perjalanan Muhammadiyah lebih kepada bagaimana Muhammadiyah memperhatikan kesejahteraan para anggotanya terutama di bidang sosial dan pendidikan. Tetapi salah satu anggapan dari Mas Najib Burhani tentang pergeseran sikap Muhammadiyah dalam Budaya Jawa adalah antara lain adanya pengaruh dari anggota Minangkabau. Pengaruh inilah yang dibawa oleh salah satu ulama Minangkabau yaitu dari Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul. Sebagai ulama puritan revivalis, beliau mengajak seluruh umat islam kembali pada ajaran al qur’an yang ortodoks dan memurnukan praktik-praktik umat islam dari unsiur yang tidak islami. Beliau berbicara dengan cara yang keras, tanpa ampun, dan tak henti-henti. Tablighnya diwarnai dengan kritik didalam praktik ibadah di masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai al qur’an dan as sunnah. Pergeseran sikap Muhamamdiyah yang kedua adalah tentang pembentukan Majlis Tarjih. Pembentukan majlis terjih ini yang kemudian membawa Muhamamdiyah dengan paradimga syraiat yang sesuai dengan kesepakatan para ulama Muhammadiyah. Tetapi ini merupakan langkah awal Muhammadiyah untuk membentengi para anggotanya agar tidak keluar dari ajaran al qur’an dan as sunnah. Karena Muhamamdiyah di awal merupakan Muhammadiyah yang masih dalam proses terutama menguatkan pondasinya.
Maka Muhammadiyah saat ini adalah Muhammadiyah yang bersikap toleran terhadap budaya Jawa. Drs. Tafsir, Ketua Umum Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dalam Pengajian Pelantikan PDM Kota Surakarta (2016) menyatakan bahwa budaya harus dijadikan sebagai alat untuk mengenalkan paham islam yang berkemajuan. Ini yang kemudian menjadi pertanyaan, bahwa Muhammadiyah tidak akan bisa dilepaskan dengan budaya Jawa karena Muhammadiyah lahir dan didirikan oleh ulama yang berdomisili di pusat kebudayaan Jawa yaitu Yogyakarta. Adalah anggapan diluar yang menyatakan bahwa Muhammadiyah kurang puritan dibangding dengan organisasi lain, karena watak Islam Muhammadiyah yang moderat. Muhamamdiyah selalu memposisikan sebagai gerakan islam berkemajuan dengan karakteristik umathan wasathan atau umat tengahan. Sehingga kurang pas jika kita melihat Muhammadiyah saat ini anti Jawa atau Muhammadiyah saat ini adalah mendukung budaya Jawa. Karena itu apa yang disampaikan Prof. Abdul Munir Mulkhan dalam bab akhir buku dengan judl Refleksi Toleransi dan Sikap Terbuka: Kekuatan Utama Muhammadiyah patut menjadi jawaban kritis terhadap para aktivisi Muhammadiyah. Membaca Buku ini sangat penting agar tidak terjadi benturan pandangan dan sikap dalam tubuh Muhammadiyah dan umat islam pada umumnya untuk memaknai sebuah gerakan keagamaan. Terutama dalam memperoleh informasi dalam peneguhan jati diri dan ideologi gerakan Muhamamdiyah. Apalagi saat ini Muhammadiyah banyak disusupi oleh paham dan aliran yang mencoba menghancurkan Muhammadiyah dari dalam baik organisasi, amal usahanya, dan para anggota dan kader-kadernya. Jangan fokus pada tradisi jawa tetapi menggali tradisi-tradisi lainnya terutama tradisi lokal karena itu merupakan kunci utama. Agar Muhammadiyah semakin berguna bagi masyarakat dan memilki kontribusi bagi kemajuan bangsa.

Peresensi: 
Muhammad Isnan

http://griyapena.id/eksklusivitas-muhammadiyah-dalam-budaya-jawa

Comments