Muhammadiyah Jawa dan Sumatera serta Hubungannya dengan Budaya

Dalam masa luang saya banyak membaca dan menghabiskan waktu dengan membaca dan menelaah beberapa hal berkaitan dengan gerakan modernisme islam pada abad ke 20 beserta lingkungan budaya dimana para penggiat modernisme Islam itu hadir. Termasuk buku Muhammadiyah Jawanya Ahmad Najib Burhani, Bulan sabit muncul dari balik pohon beringinnya Mitsuo Nakamura dan disertasi Taufik Abdullah berjudul School and politic serta buku Sumatera Thawalib Bapak Burhanudin Daya. Jika membicarakan hal yang berkaitan dengan gerakan modernisme Islam di Indonesia tak lengkap rasanya jika tak mengupas Muhammadiyah.
Hal yang menarik dari hasil penelitian di atas adalah bagaimana kondisi sosial dan budaya lingkungan di mana Muhammadiyah besar dan lahir mempengaruhi corak Muhammadiyah pada masing-0masing daerah termasuk dinamika gerakan yang terjadi di daerah masing-masing.
Dalam tulisan ini saya mencoba membandingkan dua daerah Sumatera Barat dan Yogyakarta dengan tokohnya adalah Haji Rasul dan K.H. Ahmad Dahlan.

Karel Steenbrink dalam bukunya beberapa aspek tentang Islam di Indonesia abad ke 19 menegaskan bahwa lapisan-lapisan sosial beserta seluruh atribut budaya yang melekat (dalam hal ini steenbrink masih menggunakan tesis Gertz tentang Santri, Priyayi dan abangan) menyatakan bahwa terdapat asimilasi yang tidak dapat berkembang dengan baik. Ia memberi contoh dalam Pangeran Diponegoro, Kraton dan Santri tidak bisa berkembang, di Minangkabau kaum padri dan kaum adat tak bisa menyatu (pada konteks waktu itu). Gejala ini pun mendapatkan faktor penghambat dari Belanda yang senang memilih sekutu dari orang yang tak terlalu kental keislamannya dengan menganggap bahwa Islam adalah ancaman yang serius bagi keberlangsungan pemerintahan mereka.
Untuk kasus Sumatera Barat pertentangan antara kaum Padri dan Kaum adat terius berlanjut hingga masa Haji Rasul. ia dengan keras mengkritik pedas kaum adat, tanpa kompromi. Ketika Muhammadiyah masuk ke Sumatera Barat, saat itu budaya debat dan "konflik" sangat subur dengan mengingat munculnya komunisme yang dibawa datuk Batuah, pertentangan dengan kaum tarekat dan konflik dengan kaum adat, belum lagi konflik dengan Belanda yang kian tajam dengan guru Ordonantie dan sekolah liar. Perlu di catat walau AR Sutan Mansur memiliki peran besar dalam membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat namun tak bisa pula kita melepas diri dari pengaruh Haji Rasul sang guru Buya AR Sutan Mansur (yang lebih soft menghadapi kaum adat). Muhammadiyah Sumatera Barat muncul dengan bentuk dan corak seperti itu hingga kemudian menyebar ke Bengkulu. Spirit inilah yang di bawa ke Bengkulu oleh Oey Tjeng Hien dimana beberapa kali Haji Muchtar dari pusat harus dikirim ke Bintuhan untuk meredam keinginan "radikal" dari anggota Muhammadiyah di sana.
Hal ini berbeda dengan kasus Muhammadiyah di Jawa. Ahmad Najib Burhani membagi dua kelas anggota Muhammadiyah awal masa K.H. Ahmad Dahlan yaitu Priyayi Keraton di satu pihak dan Priyayi ulama di pihak lain. Dengan latar belakang sosial seperti ini tak heran jika Muhammadiyah jawa lebih soft terhadap Budaya, bahkan berdirinya Muhammadiyah tak lepas dari Budi Oetomo kumpulan kaum priyayi jawa terpelajar yang kental dengan teosofi dan kejawennya. Kiai Dahlan menggunakan strategi dakwah yang lebih menerima budaya sehingga Budi Utomo pun menerimanya sebagai Kiai yang berbeda dengan Kiai lainnya. bahkan Kiai Dahlan pun mendapatkan tempat sebagai penasihat keagamaan Budi Utomo. Dahlan berhasil mewarnai Budi Utomo dengan Islam sebelum kemudian unsur Islam dianulir oleh radjiman wedioningrat. Muhammadiyah jawa lebih suka menggunakan langkah "penapisan" dimana budaya dalam ranah " Surface" diterima dan budaya inti diseleksi yang sesuai dengan syari'at diterima sedangkan yang tidak sesuai dipinggirkan. sehingga pendekatan Muhammadiyah jawa terhadap budaya tidak frontal. bahkan ada informasi yang menyatakan bahwa Kiai Dahlan mengizinkan "tahlilan" ketika ayahnya meninggal.
Satu pernyataan dari Ahmad Najib Burhani yang cukup menggelitik, apakah Muhammadiyah saat ini yang ----- menurutnya------ syari'ah oriented lebih m,enggunakan pendekatan Haji Rasul dan KH. Mas Mansyur daripada pendekatan Kiai Dahlan ?
Terlepas dari itu semua, kedekatan Muhammadiyah dengan budaya tempat lahirnya, Indonesia telah berlangsung lama. Dalam setiap Konferensi selalu diminta untuk semua utusan menggunakan baju adat dan khasnya masing-masing, serta penggunaan bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia dalam pertemuan-pertemuannya....

http://banghardibengkulu.blogspot.co.id/2015/12/muhammadiyah-jawa-dan-sumatera-serta.html

Comments