Resonansi Prof. Azyumardi Azra CBE di Republika

Resonansi Prof. Azyumardi Azra CBE di Republika, Kamis, 3 Nov 2016




Dinamika Muhammadiyah Kontemporer (1)

Kamis 03 Nov 2016 06:00 WIB

Oleh : Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Peluncuran 12 buku tentang Muhammadiyah (4/11/2016) memperlihatkan organisasi ini merupakan salah satu dari sedikit subjek kajian yang paling banyak dikaji, baik oleh kalangan dalam maupun luar negeri. Tapi berbeda dengan kajian-kajian terdahulu, khususnya dilakukan sarjana asing yang terutama menyoroti aspek sejarah, paradigma pemikiran dan praksis pembaharuan dan elan vitalnya, 12 karya ini lebih banyak terkait dengan perkembangan mutakhir, terutama dari perspektif ‘orang dalam’ (from within).

Dalam konteks terakhir, orang bisa teringat pada argumen Bernard Lewis dalam jawaban kepada Edward Said; kajian dan pembahasan from within dapat terjerumus ke dalam subyektivitas yang cenderung defensif dan apologetik. Said memang menekankan pentingnya kajian yang dilakukan orang dalam, karena jika dilakukan orang luar (from without), boleh jadi kajiannya tidak objektif.

Keduabelas buku ini—berbeda dengan substansi kajian terdahulu tentang Muhammadiyah—menampilkan berbagai dinamika kontemporer salah satu dari dua ormas Islam terbesar di negeri ini. Dinamika itu bisa tidak sinkron satu sama lain atau bahkan kontradiktif. Fenomena ini mengindikasikan lingkungan luar Muhammadiyah yang berubah baik pada tingkatan nasional maupun internasional.

Pada level nasional, perubahan politik sejak 1998 dengan penerapan demokrasi liberal multi-partai kompetitif menimbulkan banyak ekses yang tidak diharapkan. Demokrasi itu sendiri sudah kompatibel dengan paradigma dan praksis politik Muhammadiyah sejak waktu sangat lama, tetapi eksesseperti merosotnya budaya kewargaan (civic culture) dan keadaban  (civility); kian meluasnya korupsi; berlanjutnya politik kekuatan massa (mobocracy)  membuat Muhammadiyah harus memberikan respons berupa pemikiran dan juga program aksi.

Dalam perubahan lingkungan, Muhammadiyah masih terlibat pergumulan dalam dirinya, misalnya dalam kaitan dengan budaya lokal semacam budaya Jawa. Dengan pretensi permurnian Islam dari ‘TBC’ yang cukup lazim dalam kepercayaan dan praktek keagamaan serta budaya lokal, Muhammadiyah  cenderung tidak akrab. Karya Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa secara analitik dan komprehensif menggambarkan pergulatan Muhammadiyah dengan budaya lokal Jawa.

Menyorot kritis pergulatan ormas ini, Burhani berkesimpulan, Muhammadiyah ambigu terhadap budaya Jawa: “Muhammadiyah …punya agenda memperbaharui adat-istiadat sinkretik dan menyerang struktur sosil feudal-aristoratik yang mendominasi masyarakat Jawa dan keraton menjadi porosnya”

Ambigu itu seperti diungkapkan Burhani, terlihat misalnya dalam kenyataan Ahmad Dahlan, sang pendiri…menjadi abdi dalem yang patuh pada Keratoon Yogyakarta hingga akhir hayatnya. “Meskipun ia pemimpin organisasi moderen, ia tetap mengamalkan nilai-nilai Jawa seperti menunjukkan kerendahan hati dan takzim kepada orang yang berstatus lebih tinggi, terutama Sultan”, tulisnya.

Secara nasional Muhammadiyah kontemporer menyaksikan  peningkatan arus pemahaman dan praksis keislaman yang cenderung kian literal, defensif dan reaksioner, dengan kiprah ‘tanpa kompromi’, dan radikal. Pemahaman dan kiprah seperti ini mengakibatkan pergumulan di dalam Muhammadiyah sendiri, berupa peningkatan upaya meminggirkan kalangan yang dianggap ‘terlalu’ moderen, progresif, dan bahkan ‘liberal’. Tarik menarik dan pergumulan ini tidak hanya terjadi di dalam tubuh organisasi induk Muhammadiyah, juga merambah ke dalam institusi milik Perserikatan seperti sekolah, perguruan tinggi dan sebagainya.

Selain itu, dinamika internal dan eksternal menimbulkan riak-riak di kalangan Muhammadiyah sendiri, khususnya para pemikir dan aktivis muda atau sudah lewat usia muda. Riak-riak itu mendorong terjadinya semacam ‘soul searching’—pencarian identitas Muhammadiyah atau dalam bahasa judul buku, Becoming Muhammadiyah.

Proses ‘menjadi Muhammadiyah’ secara teoritis tidak bakal pernah selesai karena perubahan yang terus terjadi di lingkungan dalam dan luar Muhammadiyah, baik domestik maupun internasional. Hajriyanto Y. Thohari dalam hal ini menegaskan Muhammadiyah telah ‘menjadi legasi emblematik gerakan massa yang mencatat sukses. Tidak saja secara sosial-keagamaan; legasi itu mewujud dalam jangkar sejarah dan laku politik nasional semenjak sebelum kemerdekaan hingga sekarang ini’.

Dalam perjalanannya, generasi demi generasi, lapisan tokoh dan akitivis Muhammadiyah ‘masing-masing memiliki karakter dan pesona’. Generasi Muhammadiyah kontemporer memiliki alasan masing-masing ‘mengapa mereka terpesona, bergabung, dan menjadi penggerak Persyerikatan Muhammadiyah.

Maka, seperti dicatat Tohari, “Menjadi Muhammadiyah/Becoming Muhammadiyah menandai sebuah proses panjang dan kadang berliku. Ia merupakan ‘kata kerja’ yang selalu bergerak melalui ‘jeram’ dan ‘zaman’, ‘saat’, dan ‘tempat’, ‘puak’ dan ‘lapak’. Karena itulah, proses ‘menjadi’ tidak bisa dihukumi secara final sebagai sebuah ‘benda mati’ atau hasil akhir”.

https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/11/02/og0kej319-dinamika-muhammadiyah-kontemporer-1

Dinamika Muhammadiyah Kontemporer (2)

Kamis 10 Nov 2016 06:00 WIB

Oleh : Azyumardi Azra 

REPUBLIKA.CO.ID, Dengan kian meningkatnya wacana dan gerakan literal, keras dan radikal di Indonesia belakangan ini, bisa tercipta semacam kontestasi internal di dalam tubuh pergerakan yang sedikit banyak mempengaruhi paradigma dan kiprah Muhammadiyah secara keseluruhan. Tidak jarang Muhammadiyah terlihat ‘kagok’ (awkward) dalam menyikapi pemahaman dan gerakan Islam radikal.

Karena itu, Muhammadiyah—bersama NU—sering menjadi sasaran kritik lembaga dan aktivis kebhinnekaan, toleransi dan perdamaian yang mereka anggap tidak memberi respon memadai terhadap ekspresi radikalisme dan intoleransi. Seolah mendengar kritik itu, Muhammadiyah—dan juga NU—belakangan ini bersikap dan bersuara lebih tegas dan jelas (loudly and clearly) terhadap radikalisme dan terorisme semacam ISIS.

Berhadapan dengan dinamika domestik dan internasional yang tidak kondusif, berkembang wacana di dalam Muhammadiyah tentang corak dan karakter dasar ormas ini. Pertama-tama Muhammadiyah jelas merupakan pengikut Ahlus-Sunnah wal Jama’ah dengan pemahaman dan praksis ummatan wasathan atau Islam wasathiyah. Walau tidak terlalu lazim dibicarakan di kalangan para pimpinan dan aktivis Muhammadiyah sendiri, jelas Muhammadiyah menganut pemahaman dan praksis Islam wasathiyah.

Islam wasathiyah yang menjadi arus utama di Indonesia sering pula disebut sebagai ‘Islam Nusantara’. Tetapi jelas, Muhammadiyah terlihat enggan mengunakan istilah ini karena dalam kenyataannya ‘Islam Nusantara’ lebih terasosiasi dengan NU, apalagi jika ditulis dengan Islam NUsantara (N dan U ditulis dengan huruf besar dan bold).

Fenomena ini menggambarkan masih berlanjutnya ‘kontestasi’ antara Muhammadiyah dengan NU. Kontestasi itu dalam soal ‘Islam Nusantara’ terkait distingsi yang melekat pada entitas Islam Nusantara yang tak sepenuhnya sesuai dengan paradigma dan praksis Islam Muhammadiyah. Distingsi Islam Nusantara memang lebih memiliki banyak afinitas dengan NU daripada Muhammadiyah.

Tetapi penting dicatat, ‘kontestasi’ antara Muhammadiyah dan NU—khususnya dalam pemahaman dan praksis keIslaman—sebenarnya kian terbatas terutama karena terjadinya ‘konvergensi keagamaan’. 

Perkembangan ini sejak 1980an menghasilkan terjadinya ‘pertukaran’ dan ‘pertemuan’ di antara pemahaman dan praksis keislaman berbeda yang sebelumnya sangat mewarnai hubungan antara Muhammadiyah dan NU. Kini ‘kontestasi’ lebih banyak terkait soal hisab dan rukyah atau posisi politik dalam pemerintahan—menteri kabinet, direktur jenderal atau direktur di kementerian tertentu.

Di luar itu dalam isyu politik, Muhammadiyah dan NU berkonvergensi sebagai Islamic-based civil society. Muhammadiyah sebagai CS dalam dasawarsa terakhir, cenderung bernada lebih kritis terhadap pemerintahan SBY-Boediono dan dalam kadar lebih rendah juga kepada pemerintahan Jokowi-JK.

Menghindari istilah ‘Islam wasathiyah’ dan ‘Islam Nusantara’, Muhammadiyah sebaliknya mempopulerkan istilah dan paradigma ‘Islam Berkemajuan’—yang dalam bahasa Inggris dapat disebut sebagai ‘progressive Islam’. Seperti dijelaskan Burhani (Muhammadiyah Berkemajuan, 2016), istilah ini jarang terdengar, bahkan di kalangan Muhammadiyah sendiri. Ia baru diperkenalkan kembali, setelah cukup lama terpendam, dengan terbitnya buku Islam Berkemajuan: Kiai Ahmad Dahlan dalam Catatan Pribadi Kiai Syuja’ (2009).  Istilah ini mulai digunakan dalam Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta (2010) untuk menegaskan karakter Muhammadiyah.

Apakah ‘Islam berkemajuan’ itu? Burhani mengungkapkan, Kiai Ahmad Dahlan sering menegaskan pentingnya ‘berkemajuan’; ‘jika ingin menjadi kiai, maka jadilah kiai yang maju’. Selanjutnya, makna berkemajuan adalah dekat dengan ‘selalu berfikir ke depan, visioner, selalu one step ahead (selangkah lebih depan) dari kondisi sekarang. Dalam literatur resmi Muhammadiyah, Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna (2014) dinyatakan, makna manusia berkemajuan adalah “manusia yang senantiasa mengikuti ajaran agama dan sejalan dengan kehendak zaman”.

Buku ini juga menyebutkan definisi ‘berkemajuan’ dalam kaitannya dengan negara bangsa Indonesia. Disebutkan “Indonesia Berkemajuan dapat dimaknai sebagai negara utama (al-madinah al-fadhilah), negara berkemakmuran dan berkeadaban (umran), dan negara sejahtera. Negara berkemajuan adalah negara yang mendorong terciptanya fungsi kerisalahan dan kerahmatan yang didukung sumber daya manusia yang cerdas, berkepribadian, dan berkeadaban mulia”

Semua penjelasan ini, sayang, tidak memberikan definisi, paradigma, distingsi dan karakter Islam Berkemajuan. Sudah saatnya perlu dirumuskan secara lebih jelas, sehingga dapat menjadi pegangan para pimpinan dan anggota Muhammadiyah.

Islam Berkemajuan Muhammadiyah dan Islam Nusantara NU saling melengkapi. Keduanya adalah salah satu warisan (legacy) Islam Indonesia yang sangat penting dalam bagi integritas Indonesia. Untuk itu keduanya perlu penguatan secara berkelanjutan.

https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/11/09/ogdqyj319-dinamika-muhammadiyah-kontemporer-2

Comments