Membedah Tesis Muhammadiyah Jawa

Pusat Kajian Islam Jawa, February 6, 2017, opini



Oleh Khoirul FataPeneliti muda di Pusat Kajian Islam Jawa dan  mahasiswa jurusan Aqidah & Filsafat Islam IAIN Tulungagung; Pimpinan Redaksi LPM Dimensi

Saat pertama menimang buku berjudul Muhammadiyah Jawa, saya membayangkan adanya suatu tesis yang teruji tentang varian Islam Jawa dalam tubuh Muhammadiyah. Setelah menuntaskan membacanya, semua bayangan saya menjadi rontok. Buku ini, bagi saya, lebih merupakan pembelaan tehadap rasionalisasi di dalam gerakan Muhammadiyah, dari dulu hingga kini.

Buku ini merupakan tesis Ahmad Najib Burhani di Universitas Leiden. Awalnya, tesis berjudul, Muhammadiyah`s Atiitude To Javanese Culture in 1923-1930; Apreciaton and Tension (2004). Pada tahun 2010, karya ini terbit dalam versi Indonesia dengan judul menggugah, Muhammadiyah Jawa. Sayang, seluruh isi buku ini sama sekali tidak memenuhi harapan saya tentang adanya varian Islam Jawa di dalam tubuh Muhammadiyah.

Imaji saya tidak pernah berubah, Muhammadiyah tetap saja merupakan representasi gerakan puritan di Indonesia. Model gerakan ini sangat anti terhadap praktik-praktik keagamaan yang terpengaruh budaya lokal. Muhammadiyah bahkan punya adagium anti-TBC, yakni takhayul, bid`ah dan khurafat untuk menandai gerakan purifikasinya. Hingga hari ini, Muhammadiyah tetap dipandang sebagai organisasi yang mudah alergi terhadap praktik-praktik keagamaan yang bernuansa lokal.

Dalam buku tersebut, Najib Burhani banyak membantah asumsi-asumi purifikasi dalam gerakan Muhammadiyah, terutama pada periode awal. Bagi Najib Burhani, asumsi-asumsi itu menandakan ketidakjernihan dalam melihat Muhammadiyah. Ia melihat Muhammadiyah di awal kelahirannya berbeda jauh dengan Muhammadiyah pada perkembangannya, terutama saat ini. Dalam pandangan Najib Burhani, Muhammadiyah di awal berdiri bersikap akomodatif terhadap kebudayaan Jawa. Bahkan, Najib secara berani menegaskan bahwa Muhammadiyah merupakan representasi Islam Jawa (hal. XV).

Sebagai karya ilmiah, buku Muhammadiyah Jawa ini memiliki pendasaran yang cukup memadai dalam melihat identitas Kejawaan dan Keislamanan. Penulisnya menotalkan perhatiannya pada periode-periode awal berdirinya Muhammadiyah. Fokus kajian juga berintensi melihat kembali sikap-sikap akomadatif Muhammadiyah sebagaimana ditampilkan oleh pendirinya, KH. Ahmad Dahlan. Tokoh sentral Kyai Dahlan, dianggap berhasil menampilkan Muhammadiyah yang ramah terhadap budaya lokal.

Dalam rangka membedah hipotesis tersebut, Najib mengajak pembacanya untuk mengarungi perdebatan antropologi tentang Islam dan Kejawaan. Ia menjabarkan tiga paradigma yang ditawarkan oleh para antropolog untuk melihat dinamika Islam dan Kejawaan. Paradigma pertama menekankan Jawa sebagai unsur dominan atas Islam. Sedangkan paradigma kedua lebih cenderung memilih Islam sebagai unsur dominannya. Sementara itu, paradigma ketiga bersifat lebih proporsional, identitas Jawa dan Islam merupakan perpaduan yang berimbang, akulturatif (hal. 45).

Najib menggunakan ketiga paradigma tersebut untuk melihat proyek Islamisasi dan Jawanisasi. Di tubuh Muhammadiyah ada bukan hanya terjadi dinamika Islamisasi, tetapi juga Jawanisasi. Islamisasi maupun Jawanisasi merupakan dua arus yang menakar kesesuaian budaya-budaya lokal dengan asas-asas pemurnian Islam.



Islamisasi dalam Muhammadiyah (mungkin hal serupa juga terjadi di tubuh NU), secara tidak langsung oleh Najib dikategorikan sebagai grammar of symbols (bentuk di mana Muhammadiyah memanifestasikan dirinya) (hal.  81). Meski begitu, apa yang disebut sebagai grammar of symbols lebih berartikulasi di level surface culture (budaya permukaan). Budaya permukaan yang terislamisasi ini nampak pada unsur-unsur bahasa, politik busana, nama [proper name] sebagai simbol dan cara-cara Muhammadiyah bertoleransi terhadap tradisi-tradisi lokal.

Dalam unsur kebahasaan, Muhammadiyah mempunyai loncatan berharga. Buku itu menjelaskan soal sikap Muhammadiyah yang memperbolehkan khotbah dengan bahasa Jawa. Dalam penjelasan buku itu, Muhammadiyah adalah organisasi Islam pertama yang berkhotbah dengan bahasa masyarakat setempat (Jawa). Ini diartikan oleh Najib sebagai upaya menampilkan Islam dalam budaya permukaan.

Selain itu juga terjadi pada unsur busana. Najib memberi analisa atas fenomena tersebut sebagai “politik busana”. Cara tokoh-tokoh Muhammadiyah berbusana Jawa berarti menegaskan sikap apresiatif Muhammadiyah terhadap pakaian Jawa. Soal nama juga berlaku hal sama. Nama-nama para pendiri Muhammadiyah rata-rata tidak mengandung unsur-unsur Arab. Banyak di antara mereka justru memiliki nama Jawa tulen (hal. 111).

Sikap Muhammadiyah terhadap kebudayaan tersebut dipahami sebagai upaya rasionalisasi dan modernisasi. Rasionalisasi dan modernisasi merupakan gagasan pokok KH. Ahmad Dahlan sejak membidani kelahiran Muhammadiyah. Melalui semangat rasionalisasi, Kyai Dahlan berkehendak menggeser cara beragama dengan mengandalkan rasionalitas. Pada zamannya, masyarakat Islam Jawa memang masih sangat bergantung pada kekuatan roh-roh halus dalam menghadapi tantangan zaman.

Selanjutnya, Najib memotret polarisasi awal yang berkembang di tubuh Muhammadiyah. Terdapat dua kelompok dominan, yakni priyayi santri kauman dan non-santri. Kaum non-santri merupakan basis yang menguatkan Muhammadiyah dalam sikap akomodatif terhadap budaya lokal. Kelompok tersebut rata-rata berprofesi sebagai abdi dalem, sehingga sedikit banyak mempengaruhi atmosfer Muhammadiyah kala itu. Sementara kelompok non-santri yang lain, mereka rata-rata berprofesi sebagai birokrat. Umumnya menjadi guru.

Semangat rasionalisasi mendorong Muhammadiyah melakukan pelbagai demistifikasi dan demitologisasi (hal. 119). Prinsip-prinsip ritual yang dianggap menyembah berhala dibuang karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid. Prinsip tauhid inilah yang menjadi ruang utama gerakan dakwah Muhammadiyah.

Dalam konteks ini, layak mempertanyakan hipotesis Najib Burhani bahwa gerakan Muhammadiyah tidak didominasi oleh semangat purifikasi. Bahkan sesudah tesis ini dirajut sekalipun, menyapa budaya lokal di level permukaan, tidak lantas dengan mudah diartikan sebagai sikap akomodatif. Untuk melihat lebih jauh bagaimana hipotesis ini bermasalah, lebih baik melihat bagaimana ia merangkai argumentasi pergeseran paradigma di dalam Muhammadiyah.

Najib membagi perubahan di dalam tubuh Muhammadiyah menjadi dua faktor, pertama internal dan eksternal. Dalam pembagiannya, ia lebih banyak mengupas faktor internal dibanding faktor eksternal (hal. 130). Najib menengarai di tubuh internal Muhammadiyah terjadi arus fundamentalisme gila-gilaan. Arus itu dikomandoi oleh Haji Abdul Karim Amrullah alis Haji Rasul. Ia secara membabi buta mengetatkan ajaran yang mesti berdasarkan sunnah Nabi dan Al-qur`an. Menurut Najib, sikap tersebut jauh berbeda dengan yang ditampilkan oleh KH. Ahmad Dahlan. Tokoh yang disebut terakhir cenderung inklusif dan menghargai pluralitas di dalam memandang suatu realitas keagaamaan. Namun karena pengaruh Haji Rasul yang kuat, akhirnya wacana pemurnian ajaran semakin mengalami pengerasan.

Pada tahun 1927 Majelis Tarjih dibentuk. Majelis ini sengaja dilahirkan untuk menangani masalah-masalah khilafiah, lalu bergeser ke wilayah hukum-hukum Islam. Artinya Majelis ini telah mencederai semangat awal Muhammadiyah untuk menciptakan pembaruan dalam menanggapi perubahan zaman. Kenyataannya lembaga ini menjadi penghambat adanya pembaruan dalam hukum-hukum Islam. Uraian Najib menunjukkan bahwa Majelis Tarjih telah memberi jalan masuknya bagi Arabisasi di tubuh Muhammadiyah. Anggota didoktrin bahwa model kebudayaan Arab ialah model ideal yang mesti digandrungi oleh umat Islam, khususnya Muhammadiyah.

Arus ini terus menggiring Muhammadiyah makin mengalami pengerasan dalam menegaskan identitas ideologisnya. Pada saat itu Muhammadiyah dihadapkan pada partai yang berhaluan komunisme. Kelahiran Nahdhatul Ulama (NU) dalam merespon Wahabi yang membabi buta menolak Islam Arab juga menjadi pilihan yang sulit bagi gerakan pemurnian ini. Karena spirit Wahabi salah satunya juga pemurnian ajaran Islam, dan dalam kadar tertentu, Wahabi dan Muhammadiyah bisa bertemu pada tema pemurniannya. Pergeseran sikap Muhammadiyah dengan begitu semakin tidak terelakkan demi memperkokoh identitas ideologinya (hal. 145).

Saya menangkap bahwa, Muhammadiyah bila dilihat dari konteks kelahirannya tidak sepenuh-penuhnya mendambakan purifikasi total. Ia masih mencoba untuk mengakomodasi khazanah budaya lokal. Argumentasi ini didapati dari sikap-sikap pendirinya yang masih mau mengikuti acara grebeg maulid, sekaten, dan berpakain ala adat Jawa.

Meski penjelasan di bagian ini bersifat panjang lebar, akan tetapi tesis Najib Burhani, meski dibaca sampai halaman terakhir, tetap tidak menjawab apa yang disebutnya sebagai Muhammadiyah Jawa. Apakah konsep Muhammadiyah Jawa itu merupakan salah satu varian dalam Islam Jawa? Bagi saya, hanya karena alasan tokoh-tokoh awal Muhammadiyah masih menggunakan nama Jawa, berpakaian ala Jawa, dan sesekali ikut sekatenan tidak lantas menjadikan Muhammadiyah menjadi organisasi yang akomodatif terhadap ke-Jawa-an. Sebalilknya, spirit modernisasi dan rasionalisasi sebagaimana juga diakui oleh Najib telah menjadikan Muhammadiyah sejak awal hanya mungkin menegaskan identitasnya dengan memberantas takhayul, bid`ah, dan khurafat. Dan itu berarti bahwa, dalam derajat tidak terhingga Muhammadiyah tetap menjadi organisasi yang anti-lokalitas.


Nampaknya tesis Najib Burhani tentang Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa, masih harus ditangguhkan.  Bagaimanapun, rasionalisasi dan modernisasi yang menjadi pondasi Muhammadiyah menjadi tidak mudah mengategorikan organisasi ini sebagai representasi Islam Jawa. Di satu sisi, Najib tetap berkecenderungan mempertahankan bangunan purifikasi yang mengendap dalam nalar rasionalisasi dan modernisasi, tetapi di sisi lain, ia juga sangat berambisi menampilkan Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa []

http://blog.iain-tulungagung.ac.id/pkij/2017/02/06/membedah-tesis-muhammadiyah-jawa/

Comments