Review Buku "Muhammadiyah Jawa"


REVIEW BUKU MUHAMMADIYAH JAWA

MUAMMAR
 (201810380211003)
Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang


Organisasi Muslim dalam budaya Jawa
Saat pertama menimang buku berjudul Muhammadiyah Jawa, saya membayangkan adanya suatu tesis yang teruji tentang varian Islam Jawa dalam tubuh Muhammadiyah. Setelah menuntaskan membacanya, semua bayangan saya menjadi rontok. Buku ini, bagi saya, lebih merupakan pembelaan tehadap rasionalisasi di dalam gerakan Muhammadiyah, dari dulu hingga kini.
Buku ini merupakan tesis Ahmad Najib Burhani di Universitas Leiden. Awalnya, tesis berjudul, Muhammadiyah`s Atiitude To Javanese Culture in 1923-1930; Apreciaton and Tension (2004). Pada tahun 2010, karya ini terbit dalam versi Indonesia dengan judul menggugah, Muhammadiyah Jawa. Sayang, seluruh isi buku ini sama sekali tidak memenuhi harapan saya tentang adanya varian Islam Jawa di dalam tubuh Muhammadiyah.
Imaji saya tidak pernah berubah, Muhammadiyah tetap saja merupakan representasi gerakan puritan di Indonesia. Model gerakan ini sangat anti terhadap praktik-praktik keagamaan yang terpengaruh budaya lokal. Muhammadiyah bahkan punya adagium anti-TBC, yakni takhayul, bid`ah dan khurafat untuk menandai gerakan purifikasinya. Hingga hari ini, Muhammadiyah tetap dipandang sebagai organisasi yang mudah alergi terhadap praktik-praktik keagamaan yang bernuansa lokal.
Dalam buku tersebut, Najib Burhani banyak membantah asumsi-asumi purifikasi dalam gerakan Muhammadiyah, terutama pada periode awal. Bagi Najib Burhani, asumsi-asumsi itu menandakan ketidakjernihan dalam melihat Muhammadiyah. Ia melihat Muhammadiyah di awal kelahirannya berbeda jauh dengan Muhammadiyah pada perkembangannya, terutama saat ini. Dalam pandangan Najib Burhani, Muhammadiyah di awal berdiri bersikap akomodatif terhadap kebudayaan Jawa. Bahkan, Najib secara berani menegaskan bahwa Muhammadiyah merupakan representasi Islam Jawa (hal. XV)
Sebagai karya ilmiah, buku Muhammadiyah Jawa ini memiliki pendasaran yang cukup memadai dalam melihat identitas Kejawaan dan Keislamanan. Penulisnya menotalkan perhatiannya pada periode-periode awal berdirinya Muhammadiyah. Fokus kajian juga berintensi melihat kembali sikap-sikap akomadatif Muhammadiyah sebagaimana ditampilkan oleh pendirinya, KH. Ahmad Dahlan. Tokoh sentral Kyai Dahlan, dianggap berhasil menampilkan Muhammadiyah yang ramah terhadap budaya lokal.
Dalam rangka membedah hipotesis tersebut, Najib mengajak pembacanya untuk mengarungi perdebatan antropologi tentang Islam dan Kejawaan. Ia menjabarkan tiga paradigma yang ditawarkan oleh para antropolog untuk melihat dinamika Islam dan Kejawaan. Paradigma pertama menekankan Jawa sebagai unsur dominan atas Islam. Sedangkan paradigma kedua lebih cenderung memilih Islam sebagai unsur dominannya. Sementara itu, paradigma ketiga bersifat lebih proporsional, identitas Jawa dan Islam merupakan perpaduan yang berimbang, akulturatif (hal. 45).
Najib menggunakan ketiga paradigma tersebut untuk melihat proyek Islamisasi dan Jawanisasi. Di tubuh Muhammadiyah ada bukan hanya terjadi dinamika Islamisasi, tetapi juga Jawanisasi. Islamisasi maupun Jawanisasi merupakan dua arus yang menakar kesesuaian budaya-budaya lokal dengan asas-asas pemurnian Islam.
Islamisasi dalam Muhammadiyah (mungkin hal serupa juga terjadi di tubuh NU), secara tidak langsung oleh Najib dikategorikan sebagai grammar of symbols (bentuk di mana Muhammadiyah memanifestasikan dirinya) (hal.  81). Meski begitu, apa yang disebut sebagai grammar of symbols lebih berartikulasi di level surface culture (budaya permukaan). Budaya permukaan yang terislamisasi ini nampak pada unsur-unsur bahasa, politik busana, nama [proper name] sebagai simbol dan cara-cara Muhammadiyah bertoleransi terhadap tradisi-tradisi lokal.
Dalam unsur kebahasaan, Muhammadiyah mempunyai loncatan berharga. Buku itu menjelaskan soal sikap Muhammadiyah yang memperbolehkan khotbah dengan bahasa Jawa. Dalam penjelasan buku itu, Muhammadiyah adalah organisasi Islam pertama yang berkhotbah dengan bahasa masyarakat setempat (Jawa). Ini diartikan oleh Najib sebagai upaya menampilkan Islam dalam budaya permukaan.
Selain itu juga terjadi pada unsur busana. Najib memberi analisa atas fenomena tersebut sebagai “politik busana”. Cara tokoh-tokoh Muhammadiyah berbusana Jawa berarti menegaskan sikap apresiatif Muhammadiyah terhadap pakaian Jawa. Soal nama juga berlaku hal sama. Nama-nama para pendiri Muhammadiyah rata-rata tidak mengandung unsur-unsur Arab. Banyak di antara mereka justru memiliki nama Jawa tulen (hal. 111).
Sikap Muhammadiyah terhadap kebudayaan tersebut dipahami sebagai upaya rasionalisasi dan modernisasi. Rasionalisasi dan modernisasi merupakan gagasan pokok KH. Ahmad Dahlan sejak membidani kelahiran Muhammadiyah. Melalui semangat rasionalisasi, Kyai Dahlan berkehendak menggeser cara beragama dengan mengandalkan rasionalitas. Pada zamannya, masyarakat Islam Jawa memang masih sangat bergantung pada kekuatan roh-roh halus dalam menghadapi tantangan zaman.
Selanjutnya, Najib memotret polarisasi awal yang berkembang di tubuh Muhammadiyah. Terdapat dua kelompok dominan, yakni priyayi santri kauman dan non-santri. Kaum non-santri merupakan basis yang menguatkan Muhammadiyah dalam sikap akomodatif terhadap budaya lokal. Kelompok tersebut rata-rata berprofesi sebagai abdi dalem, sehingga sedikit banyak mempengaruhi atmosfer Muhammadiyah kala itu. Sementara kelompok non-santri yang lain, mereka rata-rata berprofesi sebagai birokrat. Umumnya menjadi guru.
Semangat rasionalisasi mendorong Muhammadiyah melakukan pelbagai demistifikasi dan demitologisasi (hal. 119). Prinsip-prinsip ritual yang dianggap menyembah berhala dibuang karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid. Prinsip tauhid inilah yang menjadi ruang utama gerakan dakwah Muhammadiyah.
Dalam konteks ini, layak mempertanyakan hipotesis Najib Burhani bahwa gerakan Muhammadiyah tidak didominasi oleh semangat purifikasi. Bahkan sesudah tesis ini dirajut sekalipun, menyapa budaya lokal di level permukaan, tidak lantas dengan mudah diartikan sebagai sikap akomodatif. Untuk melihat lebih jauh bagaimana hipotesis ini bermasalah, lebih baik melihat bagaimana ia merangkai argumentasi pergeseran paradigma di dalam Muhammadiyah.
Najib membagi perubahan di dalam tubuh Muhammadiyah menjadi dua faktor, pertama internal dan eksternal. Dalam pembagiannya, ia lebih banyak mengupas faktor internal dibanding faktor eksternal (hal. 130). Najib menengarai di tubuh internal Muhammadiyah terjadi arus fundamentalisme gila-gilaan. Arus itu dikomandoi oleh Haji Abdul Karim Amrullah alis Haji Rasul. Ia secara membabi buta mengetatkan ajaran yang mesti berdasarkan sunnah Nabi dan Al-qur`an. Menurut Najib, sikap tersebut jauh berbeda dengan yang ditampilkan oleh KH. Ahmad Dahlan. Tokoh yang disebut terakhir cenderung inklusif dan menghargai pluralitas di dalam memandang suatu realitas keagaamaan. Namun karena pengaruh Haji Rasul yang kuat, akhirnya wacana pemurnian ajaran semakin mengalami pengerasan.
Pada tahun 1927 Majelis Tarjih dibentuk. Majelis ini sengaja dilahirkan untuk menangani masalah-masalah khilafiah, lalu bergeser ke wilayah hukum-hukum Islam. Artinya Majelis ini telah mencederai semangat awal Muhammadiyah untuk menciptakan pembaruan dalam menanggapi perubahan zaman. Kenyataannya lembaga ini menjadi penghambat adanya pembaruan dalam hukum-hukum Islam. Uraian Najib menunjukkan bahwa Majelis Tarjih telah memberi jalan masuknya bagi Arabisasi di tubuh Muhammadiyah. Anggota didoktrin bahwa model kebudayaan Arab ialah model ideal yang mesti digandrungi oleh umat Islam, khususnya Muhammadiyah.
Arus ini terus menggiring Muhammadiyah makin mengalami pengerasan dalam menegaskan identitas ideologisnya. Pada saat itu Muhammadiyah dihadapkan pada partai yang berhaluan komunisme. Kelahiran Nahdhatul Ulama (NU) dalam merespon Wahabi yang membabi buta menolak Islam Arab juga menjadi pilihan yang sulit bagi gerakan pemurnian ini. Karena spirit Wahabi salah satunya juga pemurnian ajaran Islam, dan dalam kadar tertentu, Wahabi dan Muhammadiyah bisa bertemu pada tema pemurniannya. Pergeseran sikap Muhammadiyah dengan begitu semakin tidak terelakkan demi memperkokoh identitas ideologinya (hal. 145).
Saya menangkap bahwa, Muhammadiyah bila dilihat dari konteks kelahirannya tidak sepenuh-penuhnya mendambakan purifikasi total. Ia masih mencoba untuk mengakomodasi khazanah budaya lokal. Argumentasi ini didapati dari sikap-sikap pendirinya yang masih mau mengikuti acara grebeg maulid, sekaten, dan berpakain ala adat Jawa.
Meski penjelasan di bagian ini bersifat panjang lebar, akan tetapi tesis Najib Burhani, meski dibaca sampai halaman terakhir, tetap tidak menjawab apa yang disebutnya sebagai Muhammadiyah Jawa. Apakah konsep Muhammadiyah Jawa itu merupakan salah satu varian dalam Islam Jawa? Bagi saya, hanya karena alasan tokoh-tokoh awal Muhammadiyah masih menggunakan nama Jawa, berpakaian ala Jawa, dan sesekali ikut sekatenan tidak lantas menjadikan Muhammadiyah menjadi organisasi yang akomodatif terhadap ke-Jawa-an. Sebalilknya, spirit modernisasi dan rasionalisasi sebagaimana juga diakui oleh Najib telah menjadikan Muhammadiyah sejak awal hanya mungkin menegaskan identitasnya dengan memberantas takhayul, bid`ah, dan khurafat. Dan itu berarti bahwa, dalam derajat tidak terhingga Muhammadiyah tetap menjadi organisasi yang anti-lokalitas.
Nampaknya tesis Najib Burhani tentang Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa, masih harus ditangguhkan.  Bagaimanapun, rasionalisasi dan modernisasi yang menjadi pondasi Muhammadiyah menjadi tidak mudah mengategorikan organisasi ini sebagai representasi Islam Jawa. Di satu sisi, Najib tetap berkecenderungan mempertahankan bangunan purifikasi yang mengendap dalam nalar rasionalisasi dan modernisasi, tetapi di sisi lain, ia juga sangat berambisi menampilkan Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa
Muhammadiyah Jawa adalah sebuah karya penting yang ditulis tentang perkembangan historis Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam yang didirikan pada tahun 1912. Hal ini ditulis oleh Najib Burhani - dirinya adalah seorang intelektual muda Muslim terkemuka, berdasarkan tesis Master yang diajukan di Universitas Leiden, Belanda, berjudul, “Sikap Muhammadiyah terhadap Budaya Jawa pada 1912-1930”.
Dalam buku ini, dia menekankan pentingnya lensa sosio-budaya untuk memperbarui makna sejarah secara lebih komprehensif. Dengan itu, ia menawarkan perspektif baru untuk melihat Muhammadiyah di luar struktur organisasinya, tetapi sebagai ideologi agama yang dibangun dalam dimensi budaya masyarakat Jawa, khususnya selama dekade awal pendiriannya (1912-1927).
Burhani melihat Islam sebagai manifestasi religius budaya lokal dengan pertumbuhan dan penyebarannya dalam konteks lokal. Dalam lensa ini, Muhammadiyah adalah representasi Islam dengan kondisi spesifiknya di Yogyakarta pada waktu tertentu. Dia mencatat bahwa representasi ini ditandai dengan setidaknya 6 karakteristik.
Mereka adalah: (1) praksis nilai-nilai Jawa dalam kehidupan sehari-hari tokoh-tokoh utama Muhammadiyah; (2) publikasi dan tindakan komunikasinya dimediasi melalui bahasa Jawa, bukan bahasa Arab; (3) gaya pakaian anggota Muhammadiyah dibentuk sebagai adaptasi gaya Jawa dan Barat; (4) nama-nama sebagian besar aktivis Muhammadiyah diidentifikasi dengan nama-nama Jawa; (5) pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, dan pengikut awalnya terlibat dalam gerakan budaya Jawa, seperti Boedi Oetomo; (6) KH Ahmad Dahlan menegaskan ide dasar inklusivisme dan pluralisme sebagai orientasi signifikan budaya Jawa. (hlm. 139)
Penting untuk dicatat bahwa perspektif yang ditawarkan Burhani di sini tidak lazim, paling tidak untuk mengatakan sebaliknya, bagi pemikiran banyak Muslim Indonesia saat ini. Bagi banyak Muslim saat ini, terutama di antara beberapa kelompok dan komunitas tertentu yang menyatakan visi puritan-konservatisme dalam memahami Islam, serta dalam Muhammadiyah sendiri, Islam selalu dibayangkan sebagai agama yang paling murni. Artinya, Islam tanpa kompleksitas historis, sosial dan budaya. Untuk orang-orang ini - sekarang dikenal sebagai Salafisme atau Wahabisme, “Islam adalah Islam. Apa pun tentang Islam harus mengacu pada Al-Qur'an dan tradisi kenabian atau Sunah, secara tekstual. ”Bagi mereka, penciptaan dan inovasi dalam menafsirkan kedua sumber daya itu dilarang, karena kegiatan ini menunjukkan kesesatan. Masalah-masalah penafsiran tulisan suci ini juga berakar dalam sejarah pemikiran Muhammadiyah selama beberapa dekade sejak 1928 terutama, yang ditandai dengan pembentukan Majelis Tarjih Muhammadiyah (hal. 122; hal. 115-135).
Ini saja, buku Burhani menawarkan pemahaman kontroversial tentang Islam di Indonesia saat ini. Lebih jauh lagi, ia menghadapi keyakinan teologis dari Salafisme / Wahabisme. Dalam pandangan dunia teologis mereka, istilah Muhammadiyah (yang secara harfiah berarti, "pengikut Muhammad) mengandung arti eksplisit untuk membujuk setiap Muslim untuk mengikuti Nabi Muhammad dalam totalitas (kaffah). Dan karena Muhammad sebagai Nabi adalah seorang Arab (manusia), setiap Muslim harus menegaskan kepada karakter budaya Islam yang dominan: Arabisme. Setiap Muslim diharapkan untuk fasih berbahasa Arab, terutama untuk berdoa, membunyikan Adzan, dan membaca Al Qur'an dan hadits. Oleh karena itu, setiap upaya untuk menafsirkan kembali Muhammadiyah melalui sudut pandang Jawa, seperti yang ditawarkan Burhani dalam buku ini, tidak diperbolehkan.
Burhani tidak sendirian dalam usahanya untuk membawa cahaya sejarah kepada para anggota Muhammadiyah yang pemikirannya diselimuti oleh amnesia sejarah. Sejumlah cendekiawan terkemuka Indonesia, seperti Abdul Munir Mulkhan, juga mengakui perspektif ahistoris di antara anggota Muhammadiyah saat ini, termasuk Salafi dan Wahab. Dalam amnesia mereka, mereka tidak dapat membedakan antara normativitas dan fakta historis Islam.
Di dunia yang lebih luas, kita dapat menghubungkan perspektif yang sama seperti yang dianjurkan oleh para ulama terkemuka seperti Fazlur Rahman, 1 Tariq Ramadhan, 2 dan Abdullah Saeed. 3 Dorongan utama dari refleksi mereka menyoroti dimensi budaya manusia yang melekat dengan pemahaman agama, pengajaran dan perilaku orang percaya. Islam perlu dipahami dalam latar belakang sejarah dan sosial politiknya sehingga pesan perdamaian, kebebasan, dan kesetaraannya relevan bagi kita saat ini.
Sebagai seorang intelektual muslim muda di Indonesia saat ini, Burhani telah memberikan kontribusi penting bagi pemahaman Islam ini. Dalam narasinya tentang sejarah Muhammadiyah, ia menyingkap sikap-sikap Muhammadiyah yang berubah terhadap budaya Jawa. Interaksi dinamis di antara anggotanya pada waktu itu adalah elemen penting yang membuat organisasi relevan dan memperoleh pengikut.

Dengan demikian, Muhammadiyah Jawa tidak hanya memberikan pembaca dengan wawasan yang lebih luas dan mendalam tentang sejarah dan ideologi Muhammadiyah tetapi yang lebih penting juga, pemahaman bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi Muslim berkembang dan hidup di tengah-tengah budaya Jawa. Ini adalah representasi Islam di Nusantara.

https://www.academia.edu/37682540/review_buku_muhammadiyah_jawa.docx

Comments

  1. Best Casino Site in the World (2021) - LuckyClub.live
    Lucky luckyclub.live Club is a site for online casino gambling that lets you enjoy all the games of the casino without spending any real money. With more than 5,000 games to choose

    ReplyDelete

Post a Comment