Pada Mulanya Muhammadiyah Adalah “Islam Jawa”



IBTimes.id, 15/04/2020

Hasnan Bachtiar
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, pendiri the Reading Group for Social Transformation (RGST)

Telah terbit sebuah buku yang bertajuk Muhammadiyah Jawa karya Ahmad Najib Burhani yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (2016). Buku ini, adalah karya penelitian sejarah yang penting sekali mengenai Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar yang berdiri pada 1912. 

Buku yang dilahirkan oleh seorang cendekiawan brilian ini, Ahmad Najib Burhani, berasal dari sebuah karya ilmiah yang diujikan di Universitas Leiden, Belanda. Karya itu sendiri bertajuk, “The Muhammadiyah’s Attitude to Javanese Culture in 1912-1930.” 

Di dalam buku ini, Najib menekankan pentingnya sudut pandang sosial dan kebudayaan, dalam rangka memperbarui makna “sejarah” secara lebih utuh. Melalui sudut pandang itulah, ia menawarkan sesuatu hal yang “segar” ketika membaca Muhammadiyah, yang melampaui hal ihwalnya mengenai struktur keorganisasian. Kesegaran ini tergambar, ketika ia memahami bahwa sebenarnya ideologi keagamaan Muhammadiyah, terkonstruksi oleh dimensi-dimensi etis dan kultural yang dimiliki oleh masyarakat Jawa, khususnya di awal dekade pertama pendiriannya (sekitar 1912-1927). 

Dalam hal ini, Najib melihat Islam sebagai manifestasi keagamaan yang berakar pada kebudayaan setempat, yang tentu saja tumbuh dan berkembang dalam konteksnya yang khusus. Menurut hematnya, secara lebih jauh, Muhammadiyah adalah representasi Islam dengan segala situasi dan kondisi yang khusus di Yogyakarta, pada rentang waktu sejarah (menyejarah) yang khusus pula. 

Dalam rangka menopang argumentasinya tersebut, ia mengajukan bukti-bukti. Yakni, representasi Islam yang dimaksud, “hadir” dengan enam karakter penting. Pertama, nilai-nilai kejawaan sebenarnya telah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh para tokoh Muhammadiyah; Kedua, segala publikasi dan aksi komunikatif yang diupayakan, menggunakan bahasa Jawa ketimbang Arab; Ketiga, busana yang dikenakan oleh para anggota Muhammadiyah, lebih mengadaptasi style Jawa (dan secara relatif model Barat); Keempat, nama-nama para aktivis Muhammadiyah, genap dengan nama-nama khas Jawa; Kelima, pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan para pengikutnya saat itu, terlibat dalam pelbagai gerakan kebudayaan Jawa, seperti misalnya Boedi Oetomo; Keenam, KH Ahmad Dahlan mengafirmasi bahwa gagasan fundamental mengenai keterbukaan dan keragamaan kultural dan keagamaan, merupakan bagian yang erat dari kebudayaan Jawa (h. 139). 

Penting sekali untuk dicatat, bahwa sebenarnya perspektif yang ditawarkan oleh Najib bukanlah hal yang lazim. Katakanlah malah, hal itu sebenarnya berseberangan dengan kebanyakan cara berpikir populer kaum Muslim tanah air saat ini. Banyak di kalangan kaum Muslim sekarang ini, – terutama di antara mereka yang berafiliasi dengan kelompok-kelompok dan komunitas yang menghendaki pentingnya kemurnian (puritanisme) paham keagamaan dan keteguhan menjaga hal itu (konservatisme), termasuk di antara mereka yang ada di lingkungan Muhammadiyah – membayangkan Islam sebagai agama yang paling suci, murni, dan tiada bernoda. 

Dari bayangan mereka tersebut, berimplikasi bahwa Islam itu tidak memiliki kompleksitas historis, sosial, dan kebudayaan. Bagi mereka para pendukung puritanisme dan konservatisme Islam – yang saat ini populer disebut dengan Salafisme atau Wahabisme – Islam adalah Islam. Segala hal mengenai Islam haruslah berdasarkan dalil al-Qur’an dan Hadits, secara tekstual. 

Bagi mereka, kreativitas dan inovasi dalam memahami atau menafsirkan kedua sumber keagamaan tersebut, adalah hal yang terlarang. Alasannya bagi mereka sangatlah jelas, yakni hal tersebut terindikasi bid’ah. Segala yang bid’ah dianggap sesat dan segala yang sesat, dipercaya akan berakhir di neraka. Demikianlah kepercayaan teologis yang mereka miliki. 

Najib mencatat bahwa masalah-masalah penafsiran keagamaan ternyata memiliki akar-akarnya dalam sejarah Muhammadiyah dan sejarah perkembangan pemikiran Muhammadiyah, terutama di sepanjang beberapa dekade setelah tahun 1928. Pada rentang waktu tersebut pula, bertepatan dengan didirikannya Majelis Tarjih Muhammadiyah (h. 122; 115-135). 

Dengan mempertimbangkan hal ini, maka sebenarnya gagasan yang ditawarkan dalam buku Najib tersebut, cukup menggugah bagi upaya memahami salah satu episode sejarah Islam di Indonesia. Akan tetapi, hal itu tentu juga dipandang sebagai hal yang kontroversial. Gagasan buku tersebut bertentangan dengan pendirian teologis kelompok Salafi dan Wahabi. 

Dalam pandangan teologis mereka, istilah Muhammadiyah (yang secara literal maknanya adalah “para pengikut Muhammad”) mengandung makna yang eksplisit untuk mengajak siapa saja agar mengikuti Nabi Muhammad Saw. secara paripurna (kaffah). Oleh karena memang Sang Nabi adalah seorang Arab, maka setiap Muslim harus mengafirmasi adanya karakter kebudayaan yang dominan di dalam Islam: yakni Arabisme. Setiap Muslim didorong untuk fasih berbahasa Arab, terutama ketika memanjatkan doa-doa di dalam shalat, melantunkan adzan, dan membaca al-Qur’an dan juga hadits. 

Pada akhirnya, sebenarnya upaya menginterpretasikan-ulang Muhammadiyah melalui perspektif sosial, kebudayaan dan historis (yang akhirnya menghasilkan tesis Muhammadiyah Jawa), seperti halnya yang dilakukan oleh Najib di dalam bukunya, agaknya susah untuk diterima sebagian kalangan – untuk menghindari menyebut bahwa hal tersebut tidak diperkenankan. 

Kendati demikian, Najib sebenarnya tidak sendirian ketika berupaya membawa pencerahan historis dalam memahami sejarah Muhammadiyah, terutama di tengah-tengah situasi di mana banyak orang, bahkan di lingkungan Muhammadiyah sendiri yang tengah mengidap sindrom amnesia sejarah. Sejumlah cendekiawan lainnya juga menawarkan obor pencerahan. Salah satunya adalah Abdul Munir Mulkhan, yang juga “prihatin” ketika harus berhadapan dengan kaum Muslim (termasuk orang-orang Muhammadiyah) saat ini yang terpengaruh oleh Salafisme dan Wahabisme. Menurut Munir, masalahnya adalah mereka tidak mampu membedakan antara normativitas doktrin teologis dan fakta-fakta historis dari agama. 

Dalam ruang lingkup kajian Islam yang lebih luas, perspektif yang sama juga ditawarkan oleh sejumlah sarjana terkemuka, seperti misalnya Fazlur Rahman, Tariq Ramadan dan Abdullah Saeed. Gagasan utama yang mereka tawarkan adalah, segala dimensi sosial dan kultural di dalam kehidupan manusia, sebenarnya secara inheren sangat erat kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ajaran-ajaran dan bahkan tingkah laku para kaum beriman. Oleh karena itulah, maka dalam memahami Islam, perlu pula memahami latar belakang sosial, politik, kebudayaan dan sejarahnya, agar pesan-pesan penting mengenai perdamaian, kemerdekaan, kesetaraan dan kemanusiaan menjadi relevan bagi kehidupan kita saat ini. 

Sebagai cendekiawan Muslim, Najib telah memberikan kontribusi yang besar dalam bidang pemikiran keagamaan dan sejarah Islam di Indonesia. Dalam bukunya tersebut, ia mengungkap bagaimana sikap Muhammadiyah mengalami pergeseran tatkala harus berhubungan dengan kebudayaan Jawa. Interaksi (sosial dan kultural) yang dinamis di antara para anggota Muhammadiyah saat itu, menjadi elemen penting yang membuat banyak orang tertarik untuk bergabung dengan organisasi tersebut. 

Demikianlah, “Muhammadiyah Jawa” bukan sekedar buku yang memberikan wawasan yang luas dan mendalam mengenai sejarah dan ideologi Muhammadiyah, tetapi juga pemahaman bahwa Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi keagamaan berkembang dan hidup di tengah-tengah kebudayaan Jawa. Tentu saja, hal tersebut merupakan representasi dari Islam di Nusantara.

See - https://ibtimes.id/pada-mulanya-muhammadiyah-adalah-islam-jawa/

Comments