Tinjauan Buku: Spirit Gerakan Muhammadiyah terhadap Kebudayaan



23 November 2020

[Masyarakat dan Budaya: Volume 11, Nomor 22, November 2020]

Oleh Fitratul Akbar (Mahasiswa Ekonomi Syariah, Universitas Muhammadiyah Malang)

 

Judul Buku: Muhammadiyah Jawa

Penulis: Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani

Ukuran: 14 x 21 cm

Tebal Buku: 208 halaman

Tahun: 2018

Penerbit : Suara Muhammadiyah

 

Jika fakta sejarah Muhammadiyah diamati secara jeli, akan terlihat bahwa organisasi ini, serta pendiri dan tokoh-tokoh masa awalnya, telah menampakkan apresiasi yang besar terhadap beberapa unsur budaya Jawa. Dengan mengungkap sejarahnya, kita akan menemukan bahwa Muhammadiyah pernah memiliki hubungan yang baik dengan budaya Jawa. Memurnikan [pengalaman Islam] tak harus berarti menghilangkan atau merusak seluruh unsur budaya Jawa.

Pada beberapa tahun belakangan, para pemuka Muhammadiyah dan sebagian warganya berupaya melakukan introspeksi dan memikirkan ulang eksistensi Muhammadiyah. Salah satu di antara banyak hal yang menjadi perhatian mereka adalah hubungan antara Muhammadiyah dan budaya lokal (indigenous), termasuk budaya Jawa. Dalam Tanwir (sidang tertinggi setelah muktamar) yang diadakan di Denpasar, Bali pada 2002, Muhammadiyah berupaya bersikap lebih ramah dalam hubungannya dengan budaya lokal dengan mengetengahkan tema “Dakwah Kultural untuk Pencerahan Bangsa”.

Gagasan mengeratkan hubungan antara Muhammadiyah dan budaya lokal mencuat pertama kali pada Muktamar ke-43 pada 1995 di Aceh. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-44 pada 2000, Pimpinan Muhammadiyah serius dengan gagasan ini. Membentuk tim bernama, Tim Perumusan Dakwah Kultural, yang bertanggung jawab mendalami gagasan ini. Tim terdiri dari enam orang: A.Watik Pratikna, Bahtiar Effendy, Abdul Munir Mulkhan, Hajriyanto Y.Thohari, Haedar Nashir, dan Muslim Abdurahman (hal 3).

Kini, saat kita membicarakan budaya atau identitas jawa, kita harus sadar bahwa orang Jawa tidak punya konsep yang sama tentang budaya atau identitas seperti nenek moyang mereka. Orang Jawa boleh jadi tidak lagi menganggap Islam sebagai unsur tak terelakkan dari identitas Jawa. Ada banyak orang Jawa Kristen dan Jawa Budha. Selain itu, kita juga menemukan perbedaan antara budaya petani Jawa dan budaya urban Jawa, atau dalam istilah antropologi, antara tradisi besar dan tradisi kecil.

 

Paradigma Berpusat Pada Islam

Runtuhnya kolonialisme dan dekonstruksi orientalism memicu pergeseran dalam paradigma untuk menganalisis masyarakat Jawa. Paradigma orientalis yang terus dipakai untuk menggambarkan Jawa hingga 1960-an ditantang oleh sebuah perspektif baru yang dinamakan, mengikuti istilah Woodward, paradigma Islam-centered, yang berpusat pada Islam (hal 34-35).

Walau Woodword  mencoba membuktikan bahwa, orang Jawa punya akar dalam budaya India, ia malah menegaskan bahwa Islam mengarahkan tata krama dan standar etika kehidupan sehari-hari orang Jawa, dalam segala bentuk dan keadaan. Islam menjadi agama istana dan agama resmi. Orang-orang bisa kemudian menyerap tradisi dan peradaban istana yang mereka anggap lebih luhur dari tradisi dan peradaban mereka sendiri. Mengapa keberhasilan Islam demikian menyeluruh, Woodward menyatakan bahwa, “Islam telah meresap begitu cepat dan mendalam ke dalam anyaman budaya jawa karena ia dianut oleh istana-istana kerajaan sebagai landasan bagi Negara Teokratis” (hal 36-37).

C.L.M. Penders mendukung tesis Geertz dengan mengatakan bahwa pada mulanya, orang Jawa, juga masyarakat lain di Nusantara, memeluk Islam hanya satu tingkat di atas pro forma. Dalam perkembangannya, Islam tak pernah mampu menggantikan peradaban Jawa tradisional secara total. Islam hanyalah lapisan tipis yang mudah terkelupas di atas keyakinan tradisional yang kuat yang merupakan perpaduan animisme dan Hindu-Budha. Inti pemikiran dan amalan orang Jawa masih tak Islami. Syariat Islam tak pernah menggantikan hukum adat. Gambaran ini menguatkan tesis tersebut, sehingga Penders pun meyimpulkan bahwa kategorisasi Geertz (santri versus abangan) telah lama ada sejak permulaan, sejak tahap paling dini dalam hubungan antara Jawa dan Islam (C.L.M Penders, Indonesia, hal 236-237).

Buku ini membahas secara khusus sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa, terutama pada periode awal 1912 hingga 1930. Buku ini adalah sebuah mata rantai kecenderungan baru perkembangan Muhammadiyah sejak kemerdekaan RI pada 1945 yang mulai mengembrio sesudah 1930-an. Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa, tahun 1912-1930-an adalah tahapan proses pembentukan atau berdirinya organisasi Muhammadiyah.

Kemudian pada era 1930 hingga 1945 ini adalah masuk tahapan era ideologis atau ideologisasi pemikiran ke segala bidang. Maka ditandai dengan, terbentuknya lembaga Tarjih, pendirian lembaga Tarjih ini dipelopori oleh KH.Mas Mansur, seorang ulama dari daerah pesisir, Surabaya. Karakteristik keislaman antara daerah pesisir pantai dan pedalaman memang berbeda. Dulu, keislaman daerah pesisir dikenal ketat dibandingkan daerah pedalaman, seperti Yogyakarta. Selain melewati proses tahapan pelembagaan atau formalisasi yang kemudian menjadi arus utama gerakan berbeda dari arus utama periode awal yang begitu terbuka dan bekerja sama dengan hampir semua kekuatan sosial dan nasional.

Juga, di era ini Muhammadiyah berhubungan simbiosis atau bekerjasama dengan Boedi Oetomo  karena memang KH.Ahmad Dahlan sempat aktif di organisasi priyayi Jawa, Budi Utomo tersebut. Pun bahwasannya para pendiri Muhammadiyah merupakan priyayi Keraton Ngayogyakarta dan banyak bersentuhan dengan kegiatan didalamnya sebagai bagian dari keterbukaan gerakan ini atas budaya Jawa. Dalam istilah, Abdul Munir Mulkhan menyebut bahwa, era awal berdirinya Muhammadiyah adalah perilaku sufi para aktivis gerakan di tingkat nasional seperti pendiri Kiai Ahmad Dahlan. Tampak adanya hubungan antara sikap toleran, terbuka, dan sufi tarekat, dengan apresiasi atas budaya Jawa dan budaya asing lainnya.

Disebabkan sikap toleran, terbuka, dan adaptif terhadap pengalaman kebaikan dari bangsa-bangsa lain seperti itu justru antara lain membuat gerakan ini memperoleh sorotan dan kritikan tajam bahkan cemooh. Misalnya, ada yang mengatakan bahwa, Muhammadiyah itu merupakan Kristen alus, kafir, agama baru, perusakan agama Islam dari dalam dan ajaran sesat. Kritikan tajam dan cemoohan tersebut muncul ke publik terhadap warga Muhammadiyah dan organisasinya kisaran di tahun-tahun awal berdirinya hingga tahun 1950.

Dengan demikian, buku ini menjawab asumsi yang mengatakan bahwa, organisasi Muhammadiyah anti budaya atau mengabaikan budaya Jawa. Sebab pada dasarnya, ketika kita membaca dan mencermati sejarah berdirinya organisasi Muhammadiyah adalah bahwa, Muhammadiyah sendiri memiliki hubungan yang sangat kuat dan dinamis dengan budaya lokal (Jawa), karena memang Muhammadiyah secara geografis lahir di Yogyakarta yang merupakan pusat kebudayaan Jawa. Pendirinya, Raden Ngabehi Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan), adalah abdi dalem pamethakan di Keraton Ngayogyakarta Hadinigrat. KH. Dahlan mampu mewarnai keraton dan masyarakat Jawa tanpa harus memusuhinya atau menyingkirkannya. Justru, pada saat periode awal berdirinya menjadikan islam dan kebudayaan sebagai entitas tunggal.

Contoh nyata, Muhammadiyah mengapresiasi budaya Jawa adalah sikapnya terhadap grebeg. Tiga grebeg besar secara rutin diadakan di Kesultanan Yogyakarta, yaitu Grebeg Maulud, Grebeg Besar, dan Grebeg Pasa. Muhammadiyah menganggap praktik-praktik grebeg sebagai sarana dakwah Islam. Inilah salah satu alasan mengapa Muhammadiyah terus ikut serta dalam ritual-ritual Grebeg Kesultanan. Juga, bukti Muhammadiyah menjaga budaya Jawa bahwa, Ahmad Dahlan membolehkan para khatib di Jawa biasa menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab. Padahal, sebagian besar jamaah Jum’at tidak mengerti bahasa Arab sehingga khutbahnya pun tidak dapat dipahami.

Oleh karena itu, Muhammadiyah menyesuaikan cara penyampaian khutbah ini agar lebih tepat sasaran, yakni dengan menggunakan bahasa lokal. Hal ini dikonfirmasi oleh Von der Mehden menyatakan bahwa upaya-upaya gerakan reformis tersebut di Jawa untuk melindungi dan memajukan sejarah dan seni Jawa turut menopang nasionalisme. Upaya perhimpunan ini untuk mengembangkan Djawa-dipa, bahasa Jawa rendah yang digunakan para petani, juga punya nuansa nasionalis. Di Jawa kegiatan-kegiatan Muhammadiyah membuat mereka berkembang seperti separatisme serupa” (Editor Maulida Illiyani).

 

Referensi

Ilustrasi gambar:  http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2016/03/muhammadiyah-dan-budaya-jawa.html

 

Tentang Penulis

Fitratul Akbar adalah Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang. Menjadi penulis lepas atau kontributor di beberapa media, seperti Geotimes, Modernis, IBTimes.ID, Indikator NTB, dll. Penulis dapat dikontak melalui email fitrahblues6@gmail.com.


https://pmb.lipi.go.id/tinjauan-buku-spirit-gerakan-muhammadiyah-terhadap-kebudayaan/

Comments