Penulis: Dr Ahmad Najib Burhani
Penerbit: Suara Muhamadiyah Yogyakarta/2016
Ukuran: 14,5 x 21, 208 halaman
Sebagai lembaga
dakwah yang tidak hanya terbatas bagi umat di perkotaan, melainkan juga
di pedesaan, Muhammadiyah sejatinya dituntut untuk dapat menyesuaikan
diri dengan budaya dan sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat
sekitar. Hal itu seakan dipertegas kembali melalui gerakan dakwah
kultural yang ditetapkan oleh Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar,
Bali, pada Januari 2002. Namun demikian, tidak boleh kita lupakan bahwa
Muhammadiyah sebetulnya merupakan organisasi Islam pembaru yang
dilahirkan oleh rahim budaya Jawa, dan para pendirinya pun berasal dari
kalangan abdi dalem dan priayi Keraton Yogyakarta. Karenanya
Muhammadiyah bersentuhan dekat dengan budaya Jawa.
Beberapa dekade
belakangan ini Muhammadiyah justru banyak direpresentasikan sebagai
ormas Islam yang dituturkan “anti-Jawa”, sedangkan NU dikatakan sebagai
ormas Islam yang merupakan perwujudan dari “Islam Jawa”, hal itu tentu
saja tidak dapat dianggap sebagai penilaian yang adil. Fenomena itu
justru berkebalikan dengan kondisi NU pada awal sejarahnya, pada kala
itu NU justru lebih dekat dengan anasir-anasir Arab, mulai dari
tokoh-tokoh hingga pakaiannya. Muhammadiyah sudah pasti tidak dapat
dikatakan anti-Jawa hanya karena ia ingin memurnikan ajaran Islam dan
menghancurkan banyak takhayul, bidah, dan khufarat yang banyak menjelma
dalam tradisi masyarakat “Islam” di Indonesia. Toh, tujuan budaya—jika
dipandang menggunakan kaca mata Islam pembaharu—seharusnya adalah untuk
memuliakan Allah, bukan memuliakan budaya itu sendiri, apalagi
memuliakan nenek moyang pencipta budaya itu. Namun sayangnya, sepertinya
banyak masyarakat yang gagal dalam memahami fakta itu.
Sejatinya
hubungan Muhammadiyah dengan budaya Jawa amatlah kental, meski ada
beberapa titik simpang yang juga memengaruhi hubungan antarkeduanya.
Melalui buku Muhammadiyah Jawa yang diterjemahkan dari tesis yang
mengusung judul “The Muhammadiyah’s attitude to Javanese Culture in
1912-1930: Appreciation and Tension.” Buku yang diterbitkan ulang oleh
Penerbit Suara Muhammadiyah pada Februari 2016 dan memiliki dimensi 14,5
x 21 serta memiliki ketebalan 208 halaman ini ditulis oleh Ahmad Najib
Burhani—seorang peneliti kenamaan LIPI. Buku ini menyajikan pembacaan
kritis terhadap hubungan antara Muhammadiyah dengan kebudayaan Jawa,
yang menurutnya belum terusik selama bertahun-tahun lamanya dan perlu
dijelaskan.
Dalam
menjelaskan hubungan itu penulis ini bahkan dengan berani menyajikan
pembacaan kritis terhadap penemuan-penemuan cerdas cendekia (baca:
orientalis) di masa lalu tentang konsep mengenai kebudayaan Jawa,
Muhammadiyah, serta hubungan antarkeduanya. Dengan demikian penulis
mendekonstruksi dunia noumena khalayak. Penulis juga menyempatkan diri
untuk menjelaskan panjang lebar mengenai peran Keraton Yogyakarta—dan
hingga batas tertentu juga Keraton Surakarta—serta latar belakang
kepriayian Kiai Dahlan, dan juga hubungannya dengan Budi Utomo yang
sejatinya adalah organisasi priayi Jawa yang didirikan salah satunya
untuk mempromosikan budaya Jawa. Yang sama menariknya adalah fakta bahwa
penulis bahkan juga melakukan penelusuran terhadap aspek-aspek yang
seringkali kita anggap remeh seperti pakaian, dan nama-nama anggota
Muhammadiyah di masa lampau, hingga bahasa Jawa yang digunakan oleh
Suara Muhammadiyah pada awal sejarahnya, dengan demikian nuansa
penelitian antropologis pun dikatakan jugaikut mewarnai buku ini.
Pembahasan-pemabahasan semacam itulah yang membuat buku ini menjadi
karya yang berkualitas, bermakna, serta wajib dibaca oleh seluruh warga
Muhammadiyah yang memiliki perhatian terhadap perjalanan sejarah
Muhammadiyah dalam hidup berdampingan dengan budaya lokal.
Namun demikian,
tentu kita tidak boleh serta-merta menilai bahwa Muhammadiyah hanya
dekat dengan anasir kejawaan, karena sejatinya—seperti yang sudah
dijelaskan di awal—Muhammadiyah memiliki banyak rupa karena ia dapat
menyesuaikan diri dengan tempat dan waktu ia berada agar dakwah dan
nilai-nilai Islam dapat diterima oleh banyak khalayak. Selain juga
senyatanya kita dapat menemukan fenomena Muhamadiyah Ranah Minangkabau,
Sumbawa, Makassar, dan lain-lain yang memiliki corak masing-masing.
http://suaramuhammadiyah.com/buku/2016/03/05/meraba-rupa-kejawaan-muhammadiyah/
Diposting di Maret 5, 2016
Comments
Post a Comment