Ahmad Najib Burhani: Muhammadiyah itu Unik dan Tidak Monolitik

Ahmad Najib Burhani PhD, (tengah) penulis buku “Muhammadiyah Jawa”. (Foto: M. Risfan Sihaloho/kabarhukum.com)
Dikabarkan: Kamis, 19 Mei 2016

KABARHUKUM-Medan | Cendekiawan Muda Muhammadiyah Ahmad Najib Burhani PhD mengatakan, dengan mengusung visi “Islam berkemajuan” sebenarnya Muhammadiyah ingin menegaskan eksistensinya sebagai bagian dari “warga dunia”.  Sebagai implikasinya, Muhammadiyah harus mulai siap terbuka untuk saling berbagi (sharing) dan sekaligus berkompetisi bukan hanya di level lokal dan nasional, tapi juga global.

“Yang dimaksud Islam berkemajuan adalah Islam yang mampu beradaptasi, menyesuaikan diri secara tegas dengan dinamika zaman,” ujarnya, dalam acara bedah bukunya ‘Muhammadiyah Jawa’ yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Kemuhammadiyahan (PSIM) UMSU bekerjasama dengan Majlis Pustaka dan Informasi (MPI) PW Muhammadiyah Sumut di Aula Pasca Sarjana UMSU Jalan Denai Medan, Kamis (19/5/2016).

Najib mengatakan, slogan ”Islam berkemajuan” sebelum ini  jarang terdengar bahkan di kalangan Muhammadiyah sendiri. Ia baru diperkenalkan kembali, setelah cukup lama terpendam, dengan terbitnya buku berjudul Islam Berkemajuan: Kyai Ahmad Dahlan dalam Catatan Pribadi Kyai Syuja pada tahun 2009. Buku yang ditulis oleh murid langsung Kyai Dahlan ini di antaranya menjelaskan seperti apa karakter Islam yang dibawa oleh Muhammadiyah,” jelasnya.

Lebih lanjut Najib menjelaskan, keputusan Muhammadiyah mempopulerkan konsep ‘Islam berkemajuan’ sejak Muktamar di Yogyakarta 2010 bertujuan untuk mengidentifikasi karakter keislaman Muhammadiyah. “Dalam kaitannya dengan globalisasi, Islam berkemajuan itu sering dimaknai sebagai  ‘Islam kosmopolitan’ yakni kesadaran bahwa umat Muhammadiyah adalah bagian dari warga dunia yang memiliki rasa solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggung jawab universal kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat primordialdan konvensional seperti yang termaktub dalam Tanfidz Muhammadiyah 2010,” jelasnya.

Mengapa Islam kosmopolitan menjadi pilihan Muhammadiyah? Najib mengatakan, Muhammadiyah menyadari bahwa kelahirannya merupakanprodukdari interaksi TimurTengah danBarat yang dikemas menjadi sesuatu yang otentik di Indonesia. Ia memadukan pemikiran Muhammad Abduh, sistem yang berkembang di Barat, dan karakter Indonesia. Karena itu, kosmopolitanisme yang dikembangkan Muhammadiyah diharapkan menjadi wahana untuk dialog antarperadaban.

“Di Muhammadiyah itu tidak monolitik. Sama dengan Islam yang karakternya tidak tunggal. Karakter inilah yang menjadikan Muhammadiyah unik,” ujar Najib.

Menurutnya, Muhammadiyah juga memiliki banyak sebutan, baik dari peneliti maupun dari kalangan internal. Sebut saja julukan sebagai gerakan Islam modernis, Islam reformis, Islam puritan, Islam wahabi, hingga belakangan diidentikkan dengan Islam Berkemajuan. Julukan tersebut mengalami pergeseran makna seiring waktu. “Penamaan itu juga memiliki alasan tersendiri, semisal penyebutan istilah puritan. Dahulu, etos puritan Protestan dimaknai secara positif, berupa; etos kerja keras, berpikiran global, kedermawanan, dan humanitarian,” ungkapnya.

Najib juga menyebutkan keunikan Muhammadiyah itu tampak dari dua wajah karakter Muhammadiyah, yakni puritanisme dan modernisme. “Adalah fakta yang tak terbantahkan, karakter Muhammadiyah Sumatera itu lebih ideologistik dibanding Muhammadiyah Jawa. Muhammadiyah Sumatera itu memang cenderung lebih aktif dalam ideologi, berbeda dengan Muhammadiyah Jawa yang lebih tertarik pada kegiatan sosial (social movement),” jelasnya.

Dalam acara bedah buku ini, Najib langsung tampil sebagai pembicara utama. Sedangkan yang menjadi pembanding adalah Dr Faisar Ananda Arfa, cendekiawan Muhammadiyah Sumut yang juga dosen Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN Sumut).

Mengkritisi buku buku ‘Muhammadiyah Jawa’ ini, Faisar mengatakan, karena bukan merupan resensi buku, maka ia lebih menonjolkan aspek kritisi yang mencoba mengeksplorasi kekurangan yang mungkin tampak dari metode dan konten buku yang dibedah.

Menurut Faisar, dari judulnya buku ‘Muhammadiyah Jawa’ ini terkesan provokatif, meskipun dari asalnya yang merupakansebuah tesisyang berjudul ‘The Muhammadiyah’s Attitude to Javanese Culture in 1912-1930: Appresciation and Tension’ tidak menunjukkan demikian.

“Mungkin karena alasan marketing, judul buku ini dipilih ‘Muhammadiyah Jawa’,” ujar faisar. (*)

Laporan: M. Risfan Sihaloho

http://www.kabarhukum.com/2016/05/19/ahmad-najib-burhani-muhammadiyah-itu-unik-dan-tidak-monolitik/

Comments